A. Fenomena Guru yang mendapat Tugas Tambahan sebagai Kepala Sekolah
Banyak Kepala Sekolah sulit untuk menerima kenyataan bahwa dirinya harus kembali menjadi guru biasa lagi apabila mereka telah selesai/tidak menjabat sebagai Kepala Sekolah lagi (demisioner). Kebesaran, ketenaran, citra dan pamor sebagai seorang Kepala Sekolah selama ini memang benar-benar menjadi branding dan sekaligus image positif baginya. Apabila jabatan Kepala Sekolah tersebut lepas seolah-olah semua kebesaran dan ketenarannya itu akan juga turut berakhir. Padahal sebenarnya tidak.
Para Kepala Sekolah mestinya menyadari bahwa jabatan yang diembannya merupakan sebuah tugas tambahan guru saja. Profesi sebenarnya tetaplah seorang guru. Karena bersifat tugas tambahan, mestinya mereka menyadari bahwa suatu saat jabatan tersebut pasti akan berakhir, dan mereka harus siap menjadi guru biasa lagi.
Sulitnya Kepala Sekolah yang harus menjadi guru biasa lagi sebenarnya juga dapat dimaklumi. Jabatan Tertinggi dari seorang guru memang hanya sampai Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah. Jadi ketika jabatan tersebut sudah tidak melekat lagi pada dirinya tentu akan timbul rasa malu dan gengsi pada individu yang bersangkutan.
Memang harus kita akui bahwa di beberapa daerah banyak guru /Kepala Sekolah yang mendapat jabatan fungsional umum seperti Kepala Sesi (Kasi) , Kepala Bidang (Kabid), Sekretaris Dinas (Sekdis), atau bahkan Kepala Dinas (Kadis), tetapi cara mendapatkan jabatan tersebut tentu beragam cara dan kiatnya.
Ada juga guru yang justru di posisikan sebagai Lurah, Camat, Kepala Badan atau bahkan Kepala Dinas untuk institusi pemerintahan lainnya yang dapat kita rasakan saat ini. Hal tersebut dapat terjadi selain melihat kompetensi dan kinerja yang bersangkutan juga disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti pertalian darah ataupun pertalian daerah dengan Kepala Daerah terpilih di tempatnya bertugas.
Lantas apakah semua itu etis, sah dan elegan? Tentu saja jabatan tersebut sangat etis, sah dan elegan apabila yang bersangkutan mempunyai kompetensi pada bidang yang menjadi jabatannya, sehingga semua Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah Daerah dapat berjalan dengan baik. Tetapi, satu hal yang harus diingat adalah terkadang jabatan tersebut tidak datang dengan sendirinya.
Para guru juga harus melalui jabatan berjenjang sebelum sampai ke posisi-posisi tersebut. Misalnya telah menjadi kepala sekolah terlebih dahulu sebelum menjabat dan telah mengikuti diklat-diklat yang menjadi persyaratan untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut dan bukan mendapatkan jabatan-jabatan non kependidikan tersebut karena pertalian darah dan daerah.
“Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya” adalah istilah yang sangat populer dikalangang pejabat daerah saat ini, tidak terkecuali para kepala sekolah yang menjabat saat ini. Setiap pemilihan kepala daerah tetap saja membuat jantung para kepala sekolah tersebut akan bergerak tidak stabil.
Padahal sebenarnya, jabatan kepala sekolah adalah jabatan yang tidak boleh dipolitisasi apalagi ditarik-tarik dalam ranah kampanye para calon kandidat Gubernur, Walikota, ataupun Bupati.
Tapi, artikel ini tidak akan membahas lebih jauh bagaimana sebagian para Guru dan Kepala Sekolah ikut-ikutan berpolitik demi mempertahankan jabatan yang dipegangnya atau mengejar sebuah jabatan yang barangkali menjadi ambisi pribadinya, atau bahkan bagaimana para kepala daerah akan mengangkat para kepala sekolah dimasing-masing daerahnya.
Artikel ini akan membahas bagaimana seharusnya sikap bijak yang harus dilakukan oleh para Kepala Sekolah ketika mereka sudah tidak menjabat lagi. Benarkah Post Power Syndrome (PPS) merupakan momok yang menakutkan bagi mereka ketika jabatan Kepala Sekolah tersebut tidak melekat lagi pada dirinya.
B. Pengertian Post Power Syndrome (PPS)
Post-power syndrome atau biasa disingkat dengan (PPS) adalah gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (kebesarannya, karirnya, jabatannya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain yang menjadi citra diri selama ini), dan seakan-akan tidak bisa menerima keadaannya saat ini. Penderita Post Power Syndrome selalu ingin mengungkapkan betapa bangga dengan masa lalu yang dilewatinya.
PPS sebenarnya terjadi pada orang yang tidak dapat menerima kenyataan hidupnya. Selama ini mereka barangkali merasa hebat dengan segala yang dimilikinya, termasuk jabatan yang diembannya. Tanpa terasa dan barangkali tanpa disadari semua kehebatan tentang dirinya tersebut tidak ada lagi/hilang. Post power syndrome bukan diartikan sebagai kekuasaan atau pekerjaan, melainkan dikonotasikan sebagai sosok yang tadinya aktif, banyak kegiatan, mendadak hilangan semua sehingga timbul ketidaknyamanan pada diri dan hidupnya.
PPS juga juga merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan ketidakmampuan seseorang melepaskan apa yang pernah dia dapatkan dari kekuasaanya dahulu. Tetapi post power syndrome dapat juga timbul pada orang-orang yang bukan pernah menjabat, Syndrome ini bisa timbul pada orang yang bingung merasa nantinya tidak mempunyai kegiatan, sehingga menimbulkan ketidak nyamanan tertentu.
C. Ciri-ciri orang yang rentan terkena Post Power Syndrome
1. Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain. Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.
2. Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain.
3. Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala- galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.
4. Antara pria dan wanita, pria lebih rentan terhadap post power sindrome karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi dari pada prestise, prestise dan kekuasaan itu lebih dihargai oleh pria.
Gejala post power syndrome biasanya bermacam-macam diantaranya, bisa jadi marah, mudah tersingung, kesal, iri, atau sebal, dan apapun yang dikerjaakan orang selalu salah dimatanya. Dan jika terus berlarut-larut, tidak mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya, Sudah tentu orang yang terkena post power syndrome ini butuh psikoterapi .
Sekilas kalau kita melihat di sekitar kita, bahwa banyak Kepala Sekolah yang telah demisioner (tidak menjabat lagi) memang akan sangat sulit untuk menjadi guru lagi. Bayang-bayang nama besarnya pada saat menjabat kepala sekolah telah menjadikan dirinya sangat sulit untuk berinteraksi dan berkumpul bersama guru-guru yang sebenarnya juga merupakan kolega dan temannya pada saat belum menjabat kepala sekolah dahulu.
Para Kepala Sekolah Demisioner akan lebih memilih untuk menjadi pengawas sekolah atau justru jadi staf di Dinas Pendidikan di bandingkan kembali menjadi guru.
D. Ciri-ciri Kepala Sekolah Demisioner yang terdampak PPS
Para Kepala Sekolah demisioner yang terdampak Post Power Syndrome mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menjadi pengkritik kebijakan sekolah walaupun kebijakan tersebut untuk kemajuan sekolah.
2. Selalu mencari kelemahan Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan semua Pendidik dan Tenaga Kependidikan tanpa memberikan solusi konkret atas permasalahan dan kendala yang dihadapi sekolah. Sehingga apapun yang dikerjakan orang lain tidak ada benarnya menurut dia.
3. Menjaga jarak dengan semua guru-guru yang ada di sekolah dan sangat jarang berkumpul diruang majelis guru pada saat jam istirahat.
4. Sering tidak hadir untuk mengikuti rapat dinas sekolah dengan berbagai macam alasan. Kalaupun datang justru rapat dinas sekolah akan semakin berlarut-larut karena harus mendengarkan semua ide dan pemikirannya yang ujung-ujungnya adalah semua yang telah dan akan dikerjakan orang lain salah.
5. Tidak pernah mau mengemukakan ide dan pemikiran untuk kemajuan sekolah, yang ada justru meminta di prioritaskan dalam hal jam mengajar dan jadwal mengajar.
6. Masih suka mengatur-mengatur layaknya Kepala Sekolah dan apabila guru lain tidak mau diatur maka dia akan marah-marah tanpa sebab.
7. Memiliki sensitifitas tinggi dan mudah tersinggung oleh ucapan guru lain.
Itulah 7 ciri-ciri Kepala Sekolah Demisioner yang kembali menjadi guru biasa di sekolah kita masing-masing. Apakah ada ciri-ciri tersebut di sekolah kita masing-masing. Hanya diri kita yang dapat menjawabnya.
0 Comments